Ads 468x60px

Wednesday, September 10, 2014

SANG PENAKLUK




Indahnya Pesona Tawadhu'

Kesombongan merupakan sumber keburukan dan kejahatan. Kesombongan telah menjadi problem bagi jutaan manusia yang hidup dimasa lalu, keburukanya juga merampas kesadaraan sifat dasar kebanyakan manusia yang hidup hari ini dan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS, An Nissa :36). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Tidak akan masuk syurga orang yang didalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji zarrah (atom)” (HR. Muslim).
Kalau kesombongan mengantarkan pelakunya pada kehinaan, berbeda halnya dengan sifat tawadhu’, ia laksana cahaya penuh pesona yang menyingkap pekatnya keangkuhan. Maka siapapun yang menghiasi dirinya dengan tawadhu’, sesungguhnya Ia adalah seorang pemenang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan:63).
Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak. Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.”. Fudhail bin Iyadh berkata saat ditanya tentang makna tawadhu’, “Artinya tunduk pada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/340).
Diantara tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu’ menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap murni, bersih dari dari tujuan selain mengharap ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperluka tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikanyang mampu kita lakukan, semua itu adalah  adalah karena pertolongan dan atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keutamaan Sifat Tawadhu’
-          Kemuliaan Dunia Akhirat
Tawadhu’ merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142).
-          Disayangi di Tengah-tengah Manusia

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, artinya: “Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim).
 

Facebook

ILMU

Berilmu sebelum berkata dan beramal

Alfatih Travel

Dapatkan tiket pesawat termurah,
(semua maskapai).
0852 5531 5532 (Faisal Hardiawan)