Kesombongan merupakan sumber keburukan dan
kejahatan. Kesombongan telah menjadi problem bagi jutaan manusia yang hidup
dimasa lalu, keburukanya juga merampas kesadaraan sifat dasar kebanyakan
manusia yang hidup hari ini dan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS, An Nissa :36). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasalam bersabda : “Tidak akan masuk syurga orang
yang didalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji zarrah (atom)” (HR. Muslim).
Kalau kesombongan mengantarkan pelakunya pada
kehinaan, berbeda halnya dengan sifat tawadhu’, ia laksana cahaya penuh pesona
yang menyingkap pekatnya keangkuhan. Maka siapapun yang menghiasi dirinya
dengan tawadhu’, sesungguhnya Ia adalah seorang pemenang. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan:63).
Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan
antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu
tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah
menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak. Ibnu Taimiyah
menerangkan bahwa “tawadhu ialah menunaikan
segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah
sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa
nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya
tinggi.”. Fudhail bin Iyadh berkata
saat ditanya tentang makna tawadhu’, “Artinya tunduk pada kebenaran dan
patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapapun yang
mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/340).
Diantara tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin
bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah
tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan
berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati
kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu’ menyadari akan segala nikmat yang
didapatnya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengujinya
apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia
Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’
sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal
kebaikannya, agar tetap murni, bersih dari dari tujuan selain mengharap
ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha
mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang
menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga
kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita.
Disinilah sangat diperluka tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa
sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikanyang mampu kita lakukan, semua
itu adalah adalah karena pertolongan dan
atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keutamaan Sifat Tawadhu’
-
Kemuliaan Dunia Akhirat
Tawadhu’ merupakan akhlak mulia dari para
nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam.
Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis
salam melakukan
pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka
menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis
salam makan dari
hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu.
Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya, “Dan
berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi
celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut.
Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah
tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba
sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah
seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah
akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di
sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia,
orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di
tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di
akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat
tawadhu’nya di dunia (Lihat Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142).
-
Disayangi di Tengah-tengah Manusia
Orang tentu saja akan semakin
menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang
terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, artinya: “Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk
memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga
diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim).
0 comments:
Post a Comment