Ads 468x60px

Featured Posts

Wednesday, September 10, 2014

SANG PENAKLUK




Indahnya Pesona Tawadhu'

Kesombongan merupakan sumber keburukan dan kejahatan. Kesombongan telah menjadi problem bagi jutaan manusia yang hidup dimasa lalu, keburukanya juga merampas kesadaraan sifat dasar kebanyakan manusia yang hidup hari ini dan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS, An Nissa :36). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Tidak akan masuk syurga orang yang didalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar biji zarrah (atom)” (HR. Muslim).
Kalau kesombongan mengantarkan pelakunya pada kehinaan, berbeda halnya dengan sifat tawadhu’, ia laksana cahaya penuh pesona yang menyingkap pekatnya keangkuhan. Maka siapapun yang menghiasi dirinya dengan tawadhu’, sesungguhnya Ia adalah seorang pemenang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqan:63).
Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak. Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa tawadhu ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak, bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa menganggap dirinya tinggi.”. Fudhail bin Iyadh berkata saat ditanya tentang makna tawadhu’, “Artinya tunduk pada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapapun yang mengucapkannya.” (Madarijus Salikin 2/340).
Diantara tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka. Ini karena orang yang tawadhu’ menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia." (QS. An Naml: 40).
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar tetap murni, bersih dari dari tujuan selain mengharap ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu berusaha mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga dihati kita. Disinilah sangat diperluka tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya, bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikanyang mampu kita lakukan, semua itu adalah  adalah karena pertolongan dan atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Keutamaan Sifat Tawadhu’
-          Kemuliaan Dunia Akhirat
Tawadhu’ merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32). Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588). Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  16: 142).
-          Disayangi di Tengah-tengah Manusia

Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, artinya: “Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas  pada yang lain.” (HR. Muslim).

Sunday, March 9, 2014

Ada Harapan !!!

Ketika pintu kebahagiaan tertutup,
banyak pintu lain terbuka,
tetapi kadang kita menatap pintu yang telah tertutup terlalu lama,
sehingga kita tidak melihat pintu lain yang telah terbuka untuk kita.
Terus semangat beraktifitas…!
Dr. ‘Aidh Al-Qarni

Friday, November 1, 2013

Bulan Muharram

Pembaca yang semoga senatiasa dirahmati Allah Ta’ala, sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru hijriyah. Dimana bulan pertama dalam kelender hijriyah adalah bulan Muharram. Allah Ta’ala telah menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang mulia dan menjadikannya sebagai salah satu dari empat bulan haram (yang disucikan).

Bulan Muharram, Bulan yang Dimuliakan

        Para pembaca yang budiman, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah adalah 12 bulan (yang telah ditetapkan) di dalam kitab Allah sejak menciptakan langit dan bumi. Di antara 12 bulan tersebut terdapat 4 bulan yang suci. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian pada bulan-bulan (suci) tersebut.” (QS. At Taubah : 36)
      haram (suci) tersebut adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaimana yang disebutkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam (yang artinya), “Satu tahun ada 12 bulan, diantaranya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab diantara bulan Jumada dan bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari)
Diantara keempat bulan
Mengapa keempat bulan tersebut dinamakan bulan haram? Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah dahulu. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan maksiat lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya dikarenakan mulianya bulan tersebut.” (Zaadul Maysir, Ibnul Jauziy)

Beberapa Amalan yang Dilakukan di Bulan Muharram

Para pembaca rahimakumullah, berikut akan kami bawakan beberapa amalan yang hendaknya dilakukan pada bulan Muharram.

1. Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.
Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram.
Qotadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”

2. Perbanyaklah Puasa

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu bulan Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)
Para salaf pun sampai-sampai sangat suka untuk melakukan amalan dengan berpuasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Lathaa-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab)

3. Puasa ‘Asyuro (Tanggal 10 Muharram)

Para pembaca yang dirahmati Allah, hari ‘Asyuro merupakan hari yang sangat dijaga keutamannya oleh Rasulullah, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (yaitu hari ‘Asyuro) dan bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu bentuk menjaga keutamaan hari ‘Asyuro adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyuro, mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah” (HR. Bukhari)
Rasulullah menyebutkan pahala bagi orang yang melaksanakan puasa sunnah ‘Asyuro, sebagaiamana riwayat dari Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa Asyuro, kemudian beliau menjawab, “Puasa Asyuro menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat” (HR. Muslim)

4. Selisihi Orang Yahudi dengan Puasa Tasu’a (Tanggal 9 Muharram)

Setahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau berrtekad untuk tidak berpuasa hari ‘Asyuro (tanggal 10 Muharram) saja, tetapi beliau menambahkan puasa pada hari sebelumnya yaitu puasa Tasu’a (tanggal 9 Muharram) dalam rangka menyelisihi puasanya orang Yahudi Ahli Kitab.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau mengatakan, Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyuro dan menganjurkan para sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Maka beliau bersabda, “Kalau begitu tahun depan Insya Allah kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (Tasu’a, untuk menyelisihi Ahli kitab)”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”
Sebagian ulama ada yang berpendapat di-makruh-kannya (tidak disukainya) berpuasa pada tanggal 10 Muharram saja, karena menyerupai orang-orang Yahudi. Tapi ada ulama lain yang membolehkannya meskipun pahalanya tidak sesempurna jika digandengkan dengan puasa sehari sebelumnya (tanggal 9 Muharram). (Asy Syarhul Mumti’, Ibnu ‘Utsaimin)

5. Muhasabah dan Introspeksi Diri

Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari, bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.
Sebuah pertanyaan besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau malah dosakah yang bertambah??!” Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, masa hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”
Wahai saudaraku, sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah kelak? Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan setiap diri hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)…” (QS. Al Hasyr: 18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian di-hisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”
Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada di atas jalan kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri sebelum datang hari di-hisab-nya semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan maksiat yang bisa membuat noda hitam di hati kita. Wallahu Ta’ala a’lam.

Sumber: Buletin At Tauhid

Wednesday, May 8, 2013

Renungan

"Hitunglah amal kalian, sebelum dihitung oleh Allah"

Muhasabah (introspeksi diri) dan istighfar adalah hal yang penting dilakukan setiap muslim karena sebuah kepastian bahwa waktu yang telah berlalu tidak mungkin akan kembali lagi, sementara disadari atau tidak kematian akan datang sewaktu-waktu dan yang bermanfaat saat itu hanyalah amal shaleh. Apa yang sudah dilakukan sebagai bentuk amal shaleh? Sudahkah tilawah al-Qur’an, sedekah dan dzikir kita menghapuskan kesalahan-kesalahan yang kita lakukan? Malam-malam yang kita lewati, lebih sering kita gunakan untuk sujud kepada Allah, meneteskan air mata keinsyafan ataukah lebih banyak untuk begadang menikmati tayangan-tayangan sinetron, film dan sebagainya dari televisi? Langkah-langkah kaki kita, kemana kita gunakan? Dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini selayaknya menemani hati dan pikiran seorang muslim yang beriman pada Allah dan Hari Akhir. Pergantian detik,hari,bulan, dan tahun bukan sekedar pergantian waktu, namun peringatan bagi kita apa yang sudah kita lakukan, dan apa yang akan kita perbuat esok.
Allah berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18).


Mengharap pertolongan Allah, menuju kejayaan Islam

Mengharap pertolongan Allah, menuju kejayaan Islam

Fitnah yang semakin kuat, perbuatan bid’ah dan kesyirikan merajalela,  musibah datang silih berganti, sertaketerbelakangan umat dari segala aspek kehidupan, merupakan gambaran kondisi yang menimpa umat di zaman ini.Kondisi tersebut merupakan efek dari jauhnya umat ini dari tuntunan mereka. Tuntunan yang mengantarkan pada kejayaan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Kemunduran yang dialami umat islam saat ini tidak terlepas dari kesalahan umat itu sendiri, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: “Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri” [Ali Imran: 165]. Dan firmannya, artinya: “Dan apa saja musibah menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan)” [Asy-Syura: 30].
Keistiqomahan terhadap al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam merupakan kunci kejayaan, kebahagiaan, kebaikan, kelurusan, keselamatan, kepemimpinan, dan kepoloporan umat Islam. Bukti yang mendukung hal ini terlihat jelas dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Lihatlah ketika umat islam dibawah kekhalifahan Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu  mampu meruntuhkan dua emperium besar pada saat itu yaitu Persia dan Romawi, lembaran sejarahpun telah mencatat bagaimana kesejahteraan umat di bawah kekhalifaan Umar bin Abdul Aziz, saksikan pula bagaimana Sultan al Fatih meruntuhkan konstantinopel, sejarahpunmenjadi saksi kejayaan umat islam disegala aspek kehidupan di Andalusia, serta peristiwa heroid lain dari pendahulu umat ini. Keberhasilan itu dapat diraih tidak lain karena mereka berpegang teguh kepada al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam.
Seandainya saja umat kita mau kembali dan menghayati Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam kemudian mengamalkan hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya, niscaya dengan izin Allah kejayaan umat ini akan kembali. Kejayaan islam akan kembali jika Allah telah memberikan pertolongan-Nya. Dalam al Qur’an dan As Sunnah telah disebutkan beberapa syarat atau hal yang dapat mendatangkan pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala, diantaranya:
Bertauhid, Iman, Amal Shaleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh-sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku" [An-Nur : 55].
Menolong Agama Allah
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa” [Al-Hajj: 160].
Menolong agama Allah ialah:
-     Menegakkan syariat-Nya dan dengan mengikuti petunjuk Nabi-Nya shallallahu 'alahi wa sallam, untuk mewujudkan peribadatan hanya kepada Allah, menghidupkan sunnah dan memberantas bid’ah.
-     Memberikan loyalitas kepada ahlu sunnah wal jam’ah, dan sebaliknya kepada ahli bid’ah.
-     Melaksanakan amal ma’ruf-nahi mungkar serta jihad melawan musuh-musuh Allah.
-     Mentaati Allah dan Rasul-Nya; menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya.
Orang yang demikian keadaannya, niscaya tidak akan dapat dikalahkan, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: “Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu ?" [Ali Imran : 160].
Sabar dan Taqwa
Sesungguhnya Allah telah menjanjikan orang yang bersabar dan bertaqwa untuk memberikan pertolongan, bantuan, kemenangan, keberuntungan dan punahnya tipu daya musuh. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[Ali Imran: 125-126].
Dan firmannya, artinya: “Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan” [Ali Imran: 120].
Nabi shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, artinya: “Ketahuilah bahwa jalan keluar disertai kesulitan, bahwa kemenangan disertai kesabaran dan sesungguhnya bersama kesukaran terdapat kemudahan” [HR. Ahmad].
Orang yang Teraniaya Mendapat Janji Pertolongan dari Allah, Apalagi Jika Ia Seorang Mukmin yang Bertaqwa
            Allah Subhanahu wa ta'ala menjadikan do’a orang yang terzalimi makbul dan tidak ada penghalang yang menutupi do’a itu dari Allah. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”.[Al Hajj: 39]. Dan firman-Nya, Artinya: “Demikianlah, dan barang siapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang pernah ia derita kemudian ia dianiaya lagi, pasti Allah akan menolongnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” [Al Hajj: 60].
            Terdapat pula riwayat bahwa Allah pada hari kiamat akan mengqishas kambing yang bertanduk karena menganiaya kambing yang tidak bertanduk [Hadits Riwayat Tirmidzi], ini merupakan kesempurnaan keadilan Allah Subhanahu wa ta'ala. Terhadap binatang saja demikian, apalagi terhadap suatu masyarakat yang dikucilkan, diusir dari negerinya sendiri.
Mengikuti Agama Secara Benar
            Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” [At-Taubah: 33].
            Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda, artinya: “Sungguh-sungguh perkara (Islam) ini akan mencapai apa yang dicapai oleh malam dan siang. Dan tidak tersisa sebuah rumah tembok pun, tidak pula rumah ilalang pun kecuali akan Allah akan masukkan agama ini ke dalamnya; dengan kemulian orang mulia atau kehinaan orang hina. Kemuliaan yang Allah muliakan Islam dengannya (orang mulia tersebut), dan kehinaan yang Allah hinakan kekafiran dengan orang hina tersebut” [Hadits Riwayat Ahmad].
            Inilah janji yang termuat dalam kitab Allah dan tertuang melalui lisan Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam. Janji Allah Subhanahu wa ta'ala tidak mungkin diingkari, sebab Allah tidak mengingkari janji.
Menghindari Kegentaran dan Perselisihan
            Umat Islam tidak mengalami kekalahan kecuali karena pertentangan dan perpecahan diantara mereka. Seandainya mereka bersatu padu dalam kalimat tauhid, sama-sama berpegang teguh pada tali Agama Allah, berjihad melawan musuh-musuhnya untuk menjunjung tinggi kalimat Allah dan menegakkan tauhidullah serta memberantas habis kemusyrikan, niscaya Allah menolongnya. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” [Al-Anfaal: 46].
Melakukan Persiapan untuk Perang (Moril dan Materil)
            Melakukan Persiapan untuk Perang yaitu dengan melakukan upaya-upaya sesuai dengan Sunnah Nabawiyah yang telah ditempuh oleh para nabi, padahal para Nabi adalah orang-orang yang sangat jujur dan tawakkal kepada Allah. Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alahi wa sallam pernah muncul dengan mengenakan dua buah baju zirah dalam satu peperangan, beliau juga memakai pelindung kepala dalam peperangan.
            Demikian pula para sahabatnya-pun radhiyallahu ‘anhum mengenakan baju zirah yang menyelimuti seluruh tubuh. Dan ini tidak menghilangkan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” [Al-Anfaal: 60].
            Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa ta'ala agar Dia memberikan taufiq kepada kita untuk melakukan usaha-usaha ke arah kemenangan dan kejayaan Islam. Pada hari kemenagan itulah kaum mukminin bergembira ria mendapat pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala. Allahu ‘alam.





Thursday, April 11, 2013

KEAJAIBAN DI GAZA

Pasukan "Berseragam Putih" di Gaza

Ada “pasukan lain” membantu para mujahidin Palestina diakui sendiri oleh pasukan Israel. Menurut penuturan pasukan kafir Israel, pasukan tersebut berseragam putih-putih.

Suatu hari di penghujung Januari 2009, sebuah rumah milik keluarga Dardunah yang berada di antara Jabal Al Kasyif dan Jabal Ar Rais, tepatnya di jalan Al Qaram, didatangi oleh sekelompok pasukan Israel.
Seluruh anggota keluarga diperintahkan duduk di sebuah ruangan. Salah satu anak laki-laki diinterogasi mengenai ciri-ciri para pejuang al-Qassam.

Saat diinterogasi, sebagaimana ditulis situs Filisthin AlAan (25/1/2009), mengutip cerita seorang mujahidin al-Qassam, laki-laki itu menjawab dengan jujur bahwa para pejuang al-Qassam mengenakan baju hitam-hitam. Akan tetapi tentara itu malah marah dan memukulnya hingga laki-laki malang itu pingsan.
Selama tiga hari berturut-turut, setiap ditanya, laki-laki itu menjawab bahwa para pejuang al-Qassam memakai seragam hitam. Akhirnya, tentara itu naik pitam dan mengatakan dengan keras, “Wahai pembohong! Mereka itu berseragam putih!”

Cerita lain yang disampaikan penduduk Palestina di situs milik Brigade Izzuddin al-Qassam, Multaqa al-Qasami, juga menyebutkan adanya “pasukan lain” yang tidak dikenal. Awalnya, sebuah ambulan dihentikan oleh sekelompok pasukan Israel. Sopirnya ditanya apakah dia berasal dari kelompok Hamas atau Fatah? Sopir malang itu menjawab, “Saya bukan kelompok mana-mana. Saya cuma sopir ambulan.”

Akan tetapi tentara Israel itu masih bertanya, “Pasukan yang berpakaian putih-putih dibelakangmu tadi, masuk kelompok mana?” Si sopir pun kebingungan, karena ia tidak melihat seorangpun yang berada di belakangnya. “Saya tidak tahu,” jawaban satu-satunya yang ia miliki.

sumber: VOA-Islam
 

Facebook

ILMU

Berilmu sebelum berkata dan beramal

Alfatih Travel

Dapatkan tiket pesawat termurah,
(semua maskapai).
0852 5531 5532 (Faisal Hardiawan)